Suku Indian di Meksiko berbondong-bondong memeluk agama Islam. Pemerintah pun mulai ‘gerah’. Setelah lama menjadi basis penganut Katolik, wilayah selatan Meksiko secara cepat berubah bagai medan pencarian iman. Termasuk pula agama Islam, yang tercatat berhasil menanamkan pengaruhnya setelah ratusan kaum Indian Maya beralih menjadi Muslim. Dan pemerintah Meksiko pun dibuat khawatir terhadap merebaknya ‘benturan budaya’ di halaman belakang mereka sendiri.
“Dalam agama Islam, tidak mengenal perbedaan suku serta etnis,” ungkap seorang mualaf dari suku Maya kepada media Jerman, Der Spiegel, saat ditanya alasannya berpindah agama. Ia mengaku belajar banyak agama sebelum akhirnya memilih Islam sebagai agamanya.
Rasa antusiasmenya terhadap agama ini bisa dimengerti. Di kampung halamannya di Chiapas, wilayah paling miskin di Meksiko, suku tradisional kerap dipandang sebagai warga kelas dua. Orang kulit putih dan Mestizos pun selalu mengancam mereka. Bahkan, di kota San Cristobal de las Casas, kota terbesar di selatan, orang-orang asli Indian harus menyingkir ke jalan ketika ada orang kulit putih mendekati mereka di trotoar.
Namun kehidupan terus berjalan. Gomez, 23, misalnya, memeluk agama Islam sejak delapan tahun lalu. Dia sudah mengganti namanya menjadi Ibrahim dan berhaji. Menurut penuturannya, sekitar tujuh tahun lalu, memeluk islam bagi suku Indian di wilayah tersebut masih menjadi sesuatu yang anomali. Tetapi kini, Muslimah berjilbab sudah merupakan pemandangan biasa yang bisa ditemui di jalan-jalan kota San Cristobal.
Sekitar 300 Indian dari suku Tzozil, juga telah beralih memeluk Islam dalam beberapa tahun belakangan dan jumlahnya masih terus meningkat. Fakta tersebut jelas merisaukan pemerintah Meksiko. Akibatnya, pemerintah mencurigai para mualaf ini dengan tuduhan melakukan aktivitas subversif dan telah menyebar agen dinas rahasia untuk mengamati suku Maya-Muslim ini. Presiden Meksiko Vincente Fox mengaku khawatir terhadap pengaruh kaum fundementalis radikal Alkaidah di wilayah itu.
Kendati demikian, kaum Indian tidak mau terpengaruh dengan kekhawatiran dari pemerintah, mulai dari tuduhan menjadi kaum ekstrimis, mancampuri urusan politik, atau apa pun namanya. Hanya satu hal yang mereka ingin lakukan, yakni beribadah sebaik-baiknya.
Para mualaf itu kebanyakan menganut Islam Suni, khususnya faham Murabitun yang didirikan oleh Ian Dallas, seorang Skotlandia yang beralih ke Islam. Pengikut faham Murabitun melaksanakan ajaran Islam yang melarang mengambil bunga/keuntungan dari aktivitas peminjaman uang dan melakukan dakwah sesuai perintah Alquran.
“Mereka ingin memperbaiki kondisi berdasarkan kaidah Islam,” ucap seorang ahli antropolog, Gaspar Marquecho, peneliti umat Muslim di Chiapas. “Penolakan mereka terhadap kapitalisme tidak berbeda dengan kritik yang kerap dilontarkan oleh kaum sayap kiri terhadap dampak globalisasi.”
Siapa ‘misionaris’ Muslim di kalangan suku Indian Maya? Sebuah fakta menyebutkan, ketika suku Maya-Muslim di Chiapas belum lama mendapat perhatian besar, maka peralihan agama ke Muslim di kalangan suku Tzotzil sudah berlangsung cukup lama. Pada pertengahan tahun 1990-an, serombongan umat Muslim dari Spanyol berangkat menuju kawasan Amerika Latin untuk berdakwah. Mereka dipimpin oleh Aureliano Perez, atau dikenal juga sebagai Emir Nafia. Ia kini dianggap sebagai pimpinan spiritual oleh suku Maya.
Aureliano kemudian menawarkan kepada kaum Zapatista untuk berjuang bersama di bawah Komandan Marcos, sebagai sekutu ideologi-agama. Marcos enggan untuk menjalin pakta yang agak ‘aneh’ ini, akan tetapi, para pendakwah tadi menemukan hal lain; suku Tzotzil merangkup sebagian besar anggota Zapatista dan mereka ternyata cukup terbuka menerima dakwah-dakwah Islam.
Perebutan pengaruh spiritual di Chaipas bukanlah sesuatu yang baru. Pada abad ke-16, bangsa Spanyol memakai cara-cara kekerasan agar suku Indian memeluk Katolik. Pertengahan milenium ini, para pengkhotbah evangelis dari Amerika mengubah kawasan Amerika Latin sebagai ladang pencarian spiritual gereja. Di kota San Juan Chamula saja ada sebanyak 11 kelompok agama yang masing-masing mencari pengikut dari suku Indian.
Karena sudah ada sejak lama, maka Katolik masih menjadi yang terbesar hingga kini. Saat harus berhadapan dengan kian kuatnya kegiatan evangelis, mereka menjadi khawatir terhadap memudarnya pengaruh yang sudah mereka tanamkan.
Langkah pencegahan pun ditempuh. Sekitar 30 ribu Indian penganut Protestan kemudian diusir keluar dari kota San Juan Chamula dalam tiga dekade terakhir dan menjadi pengungsi. Kebanyakan mereka tinggal di luar kota San Cristobal. Terputus dari akar budaya dan agama, suku Indian ini kemudian berusaha mencari ketenangan jiwa.
“Dalam Islam, para Indian tadi menemukan nilai-nilai asli mereka,” kata Esteban Lopez, sekretaris jenderal komunitas Muslim Spanyol. “Kaum non-Muslim telah merusak budaya mereka.”
Dia menggambarkan penyebaran alkohol sebagai bukti. Minuman keras tersebut beredar luas di kalangan Indian Tzotzil. Namun larangan keras Islam terhadap minuman memabukkan sanggup mencegah suku Indian itu dari bahaya kecanduan miras dan lingkaran kemiskinan.
Kini di San Cristobal, suku India Maya-Muslim sudah dapat menjalankan aktivitas secara bebas. Ada yang membuka restoran piza dan menjadi tukang kayu. Banyak kalangan melihat mereka sebagai pekerja keras dan rendah hati.
Demikian juga kehidupan beragama dan pendidikan. Sebuah sekolah Alquran sudah dibuka. Di sana, para siswa belajar bahasa Arab dan shalat lima waktu, bertempat di ruang belakang gedung itu. Di sisi lain, jumlah penganut Muslim terus bertambah, dan ini antara lain dipicu oleh syiar Islam yang dilakukan dari sesama anggota keluarga.
Anastasio Gomes, misalnya, berhasil mengislamkan hampir seluruh anggota keluarganya. Dia begitu bahagia bisa mengislamkan kakeknya yang sudah berusia 100. “Dia sudah beralih dari satu agama ke agama lain selama hidupnya. Tapi sekarang, dia sudah menemukan kedamaian dalam naungan Allah SWT,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Sejarah Pada Sebuah Buku
Agama Islam sampai ke Meksiko melalui perantara imigran asal Timur Tengah. Adalah sebuah buku karya Pascual Almazan berjudul Un hereje y Un Musulman yang mengisahkan seorang Muslim bernama Yusof bin Alabaz, menjadi petunjuk tentang kedatangan Islam pertama kali ke negara ini.
Berdasarkan buku tersebut, Yusof hidup pada abad ke-16. Dia tinggal di Andalusia namun selamat dari serbuan balasan kaum Nasrani di sana. Yusof lantas melarikan diri ke Maroko.
Akan tetapi, di tengah perjalanan, dia ditawan oleh perompak yang kemudian membawanya ke Meksiko. Karena takut dijadikan budak, dia pun berusaha melepaskan diri dan berhasil. Setelah itu, beberapa tahun kemudian Yusof tinggal di sebuah kawasan bernama Veracruz dan menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat.
Dari situlah, agama Islam berkembang ke seluruh wilayah negeri. Terlebih ketika kian banyak berdatangan para imigran dari Timur Tengah. Begitulah sejarahnya. Tidak ada bukti konkret yang menyebutkan bahwa Islam telah ada di negara tersebut sebelum datangnya imigran Arab.
Saat ini di negara tersebut memang banyak terdapat imigran Timur Tengah. Mereka berasal dari Lebanon, Maroko, Mesir, dan Suriah. Namun, tidak diketahui berapa jumlah pemeluk Islam di antara mereka. Barulah ketika dosen dari Georgetown University, Theresa Velcamp, mengadakan penelitian tahun 1999, diketahui sedikit banyak tentang mereka.
Menurut dia, imigran asal Suriah dan Lebanon merupakan komunitas imigran terbesar dengan estimasi 200 ribu jiwa. Selain itu, umat Muslim kebanyakan tinggal di kota-kota besar seperti Mexico City, Monterey, Guadalajara, Ciudad Obregon, dan Chiapas.
sumber : http://putrahermanto.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar